Sumber dari :
http://www.dadangkadarusman.com/Saya diundang oleh teman. Dia bilang, saya akan diperkenalkan dengan temannya yang pebisnis sukses. Katanya, dia sedang mencari mitra kerja untuk mengembangkan bisnisnya. Waktu saya tanya; bisnis apa-an? Dia mengatakan; lebih baik ketemu dengan ahlinya langsung. Dan kamipun sepakat untuk mengatur pertemuan disebuah hotel bintang 4, jam 7 malam. Karena saya percaya pada dia, maka saya berusaha bermacet-macet ria. Setelah saya bersusah payah seperti itu; eeh, ternyata yang dia bilang dipertemukan dengan bisnisman sukses itu cuma untuk mendengarkan presentasi MLM.
Paragraf diatas itu adalah sebuah petikan kekesalan dari seorang teman yang merasa tertipu oleh temannya sendiri. Dalam sebuah blog, ada artikel yang membahas keluhan senada. Ada ratusan komentar yang muncul untuk artikel itu. Tentu saja, pro dan kontra.
Dari mana citra buruk rupa itu muncul? Dari konsep MLM-nya kah? Dari kekeliruan pendekatan yang dilakukan oleh (sebagian) pelakunya kah? Atau dari sinisme dan sifat defensif sang penerima informasinya kah? Menarik untuk dicermati. Sebab, begitu banyak orang bersikap antipati ketika mendengar kata MLM. Sebuah percobaan kecil dengan menanyakan pendapat orang tentang bisnis MLM memberikan kesimpulan sementara bahwa; citra buruknya lebih dominan dibandingkan dengan ‘value’ sesunguhnya dari system itu. Padahal, dalam marketing; tentu saja ‘citra’ merupakan sesuatu yang teramat sangat penting.
Yang lebih menarik lagi adalah; hal itu masih terjadi setelah bertahun-tahun system ini diperkenalkan di Indonesia. Sewaktu saya masih kuliah belasan tahun lalu, MLM menjadi topik bahasan seru. Namun, hingga sekarang citra buruk itu tidak kunjung surut. Saya menjadi teringat suatu ketika guru mengaji dikampung mengatakan; Jika si A melakukan kebaikan kepada si B. Kemudian si B melakukan kebaikan yang sama kepada si C. Lalu si C melakukannya kepada si D. Dan seterusnya. Maka pahala dari rangkaian perbuatan baik itu Tuhan tebarkan hingga si A selalu mendapatkan bagiannya. Mungkin saja si A tidak mengenal si D. Tapi, ketika si D melakukan kebaikan yang diajarkannya; maka si A mendapatkan pahala. Bahkan sekalipun si A sudah meninggal, dia tetap mendapatkan pahala dari ilmu kebaikan yang diajarkannya.
Guru ngaji saya juga bilang; dalam ajaran kita, sebutir kebaikan yang dilakukan orang beriman kepada orang lain itu bagaikan sebutir benih padi. Dia akan tumbuh, lalu menghasilkan seuntai tangkai yang berisi cabang-cabang dimana setiap cabang untaian padi itu berisi cabang kecil-kecil. Dan setiap cabang kecil itu berisi cabang yang kecil-kecil lagi. Dan masing-masingnya berisi satu bulir padi.
Kepada seorang mahasiswi program study marketing saya menceritakan kembali kisah guru ngaji itu. Dan saya mengatakan kepadanya bahwa; “Konsep MLM itu menganut system pemberian pahala yang diajarkan Islam. Seseorang yang menabur benih kebaikan; akan menuai rangkaian kebaikan-kebaikan yang ditimbulkannya kemudian.
”Tahukah anda, mengapa saya berani mengatakan hal itu kepadanya? Karena dia adalah seorang pacar yang kemudian saya nikahi. Tetapi kepada anda, saya tidak berani mengatakan hal itu. Mengapa? Karena saya tidak mau mengambil resiko atas respon anda. Bisa saja anda mengatakan bahwa; ‘saya memanfaatkan dalil-dalil agama untuk menjustifikasi bisnis itu’. Anda juga bisa menganggap bahwa saya antek-anteknya MLM. Jadi, kepada orang lain selain istri saya; saya tidak akan mengait-ngaitkan konsep MLM dengan rangkaian pahala kebaikan yang diajarkan guru ngaji saya itu.
Tapi, marilah kita melihat beberapa hal. Pertama, sudahkah kita bersikap proporsional? Kita perlu menanyakan kepada diri sendiri; apakah kita sebal kepada system MLM-nya, atau kepada cara orang-orang yang membawakannya kepada kita? Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita biasa mengatakan ‘oknum’ terhadap sebuah penyimpangan yang terjadi? Kata oknum, berguna bagi kita untuk membedakan apakah yang jelek itu ‘seseorang’ atau sekelompok orang, ataukah system alias lembaganya sendiri.
Kedua, sudahkah kita benar-benar memahami konsep MLM, atau sekedar pura-pura memahaminya? Mungkin sikap antipati kita itu sebenarnya ditimbulkan karena informasi yang kita terima kurang akurat. Atau karena cara-cara yang digunakan para pelaku MLM yang tidak tepat? Atau mungkin karena kita pernah ‘merasa’ ditipu; sehingga kita menutup diri dari kemungkinan memahami pengertian sesungguhnya tentang MLM.
Ketiga, jika anda seorang marketer tentu tahu bahwa dalam system penjualan biasa - yang bukan MLM – anda sering dipusingkan oleh apa yang disebut sebagai ‘barang buangan’. Barang-barang yang masuk ke teritory anda, dari teritory lain. Anda yang bekerja susah payah, tapi teman anda di kota lain yang mendapatkan salesnya karena barang buangan itu bocor ke teritory anda. Hey, tahukah anda bahwa; dalam MLM kemungkinan ‘permainan’ semacam itu sangat kecil? Jika anda sudah berhasil merekomendasikan seseorang menjadi member, maka tidak peduli dia membeli produknya dikota mana; anda tetap mendapatkan bonusnya.
Keempat, bisakah kita menemukan organisasi marketing yang terstruktur rapi dan sestematis? Teman saya berjualan baju muslim. Dia mengambil baju-baju itu dari Tanah Abang dengan keuntungan 30%. Kemudian, dia titipkan baju muslim itu ke Ibu-Ibu Arisan, dan memberi mereka keuntungan 20%. Si Ibu-ibu arisan mengambil sepuluh potong, lalu bilang kepada suami-suami mereka; “Pah, bilangin dong sama teman kamu supaya beli baju-baju ini untuk istrinya. Nanti Papah dapat untung 15%”. Para suami pergi kekantor, dan bilang pada Office Boy: “Dadang, kalau kamu mau menjualkan baju ini kepada karyawan disini, kamu akan mendapatkan keuntungan 10%”. Hal semacam itu lumrah terjadi disekitar kita, bukan? Menurut pendapat anda, apakah cara jualannya ‘bertingkat-tingkat’? Kayaknya sih begitu. Tapi belum sistematis, ya? Bagaimana jika mereka melakukannya dengan cara yang systematis sehingga hitung-hitungan bonusnya jelas, dan masing-masing dapat membawa baju dagangannya itu kepada teman-temannya yang lain?
Kelima, bisakah kita menemukan suatu system marketing yang memberikan keuntungan jangka panjang kepada konsumen atau pengguna produk setianya? Cobalah tengok barang-barang yang anda miliki. Anda membelinya. Lalu, Anda bilang pada tetangga; “Produk ini bagus, saya sudah pake tuh Jeng”; apakah anda mendapatkan imbalan dari perusahaan? Dalam MLM, setiap konsumen memiliki kesempatan untuk mendapatkan manfaat-manfaat lain, misalnya; perbedaan harga yang signifikan. Hak untuk menjual kembali kepada orang lain dengan selisih harga menarik. Dan untuk setiap tetangga yang ikut membeli produk itu atas rekomendasi anda; perusahaan bersedia memberi anda imbalan berupa pembagian keuntungan yang diperolehnya.
Jika kita tidak mau berbisnis, apakah kita perlu membenci ML.M? Nggak, kan ya. Kita netral saja. E-eh, tunggu dulu; saya membutuhkan suatu produk tapi tidak ada di supermarket. Adanya hanya di ML.M. Gimana dong? Mengapa pusing? Kita beli saja di M.LM, tapi tidak usah jadi member. Sebab, ML.M tidak melarang seseorang yang bukan anggota untuk membeli produknya. Dan ML.M tidak memaksa konsumennya untuk menjadi tenaga marketing mereka. Mereka hanya memberi kesempatan kepada kita; KALAU-KALAU kita mau mendapatkan manfaat lain selain dari manfaat langsung dari produk yang kita beli. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Jangan hanya karena produk itu dipasarkan secara ML.M, meskipun anda membutuhkannya; anda batal membelinya.
Bagaimana jika kita ‘akhirnya’ tertarik untuk ikutan berbisnis? Lakukan saja. Tapi ingat; hindari melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ‘ngerjain’ anda dengan presentasi yang tidak objektif. Jadilah marketer yang profesional dan proporsional.
Kita tidak perlu mencari-cari argumen untuk menentukan; mana yang lebih baik, diantara ML.M dan sistem marketing biasa. Tidak terlalu bermanfaat. Lebih baik kita tempatkan diri pada porsinya masing-masing. Kita yang tidak suka ML.M dan tidak mau berurusan sama sekali dengan apapun yang berbau MLM; cukup katakan, “maaf, saya tidak tertarik”. Kita yang hanya butuh produknya saja; tidak usah ragu untuk membeli. Beli saja. Dan, kita yang menjadi pelaku bisnis M.LM; terus tingkatkan profesionalisme dalam bekerja. Dengan begitu, M.LM yang saat ini masih dipandang sebagai seekor anak bebek buruk rupa itu akan cepat atau lambat tumbuh menjadi seekor angsa yang cantik jelita.
Catatan Kaki:Orang-orang yang baik melakukan sesuatu dengan cara-cara yang baik. Dan orang-orang yang baik membuka diri untuk setiap kebaikan dengan menunjukkan sikap yang baik.
posting by
Norick Indradjit
Intra-herbal to drink